User Icon Hai pembaca setia! Temukan solusi media online Anda di AMK WebDev.

Brutalitas PBB: Pajak Gila Rakyat Tertindas

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

DI TENGAH ekonomi rese, pemerintah daerah malah menambah beban PBB melambung ratusan hingga ribuan persen, tanpa kajian jelas dan sosialisasi memadai seolah warga bukan konstituen, melainkan korbannya. Kenaikan gila ini tidak sekadar fiskal, tapi politik oportunis yang mencerminkan ketidaksensitifan pemimpin lokal berupa pemaksaan regulasi sebagai tameng legitimasi tanpa rasa malu maupun nurani.

Brutalitas PBB ini bermula dari Banyuwangi menurut unggahan viral, PBB-P2 “naik 200 %” (Netralnews, 12 Agustus 2025). Namun, klaim itu segera dibantah pejabat Pemkab: “tidak ada kenaikan PBB massal 200 %,” melainkan pajak hiburan malam yang mendapat kenaikan hingga 75 % (Netralnews, 12 Agustus 2025). Jadi, seberapa akurat narasi “200 %”? Secara logika, itu seperti menakuti orang dengan hantu palsu.

Lalu Jombang menyusul: warga syok karena tagihan naik dari sekitar Rp 400 ribu jadi jutaan rupiah “sekitar 400 %” menurut sebagian laporan (Radar Nganjuk, 11 Agustus 2025). Namun, versi lebih dramatis menyebut pelanggan terkena kenaikan sampai 1.202 % (Detik, 12 Agustus 2025). Bupati mengklaim hanya meneruskan Perda 2023 tanpa “menambah” seolah menyampaikan bahwa generasi pajak selanjutnya tidak punya pilihan selain menanggung warisan beban masa lalu (Kumparan, 11 Agustus 2025). Sebagai protes lucu-lucuan, warga membayar PBB dengan satu galon uang koin (Jatim Times, 12 Agustus 2025; Liputan6, 12 Agustus 2025) sebuah sindiran keras terhadap kekerasan fiskal.

Kabupaten Semarang, khususnya Ambarawa, tidak mau kalah: lansia Tukimah terkejut melihat PBB rumahnya naik 441 %, dari Rp 161 ribu jadi Rp 872 ribu (Detik, 11 Agustus 2025). Pemkab berdalih ini akibat penilaian ulang NJOP, tapi sosialisasi? Tidak tampak tanda-tandanya (Lintasan.id, 11 Agustus 2025; JPNN Jateng, 11 Agustus 2025).

Solo pernah “berusaha” menaikkan PBB hingga “sekitar 400 %”, tapi respons publik menahan langkah itu menunda dengan elegan, setidaknya secara politis (Suara Surakarta, 8 Agustus 2025). Apakah ini contoh kelentingan pemimpin yang mendengar suara rakyat, atau sekadar jeda tanpa keberanian revisi total?

Cirebon menghadirkan momen paling keji: tagihan rumah warga naik dari Rp 6,2 juta menjadi Rp 65 juta “1 000 % lebih” kenaikannya (Detik Jabar, 14 Agustus 2025; Harian Fajar, 14 Agustus 2025). Gelombang protes digelar, masyarakat menuntut revisi Perda, bahkan DPRD bergerak cepat menyatakan evaluasi dan revisi perlu dilakukan (BeritaSatu, 14 Agustus 2025). Pemerintah kota menyebut angka 1.000 % itu “hoaks”, tapi “ada kenaikan”, dan sedang dicari formula lebih adil (Detik, 14 Agustus 2025; BeritaSatu, 14 Agustus 2025)—seolah berkata “menganggap rakyat bodoh adalah strategi legitimasi”.

Bone menjadi pintu cerdas antitesis: isu kenaikan PBB 300 % mencuat, tapi Pemkab buru-buru bilang kenaikannya hanya sekitar 65 % karena penyesuaian Zona Nilai Tanah (ZNT) dari BPN, bukan tarif pajak (Detik Sulsel, 13 Agustus 2025; Kumparan, 13 Agustus 2025). Mereka menjadikan BPN dan BPK sebagai kambing hitam, sambil menargetkan PAD naik dari Rp 30 miliar menjadi Rp 50 miliar (Detik Sulsel, 13 Agustus 2025) dengan gaya eksploitasi “post-truth”, kebohongan transparan untuk kepentingan fiskal.

Jeneponto juga tak lepas dari narasi alarm: dikabarkan naik 400 %, namun Bapenda menyatakan tarif hanya naik dari 0,1 % ke 0,3 % berdasarkan Perda 2023 (Aktual.com, 14 Agustus 2025; Halilintarnews, 14 Agustus 2025). Kombinasi hati-hati antara alarm berita dan semangat admin.

Malang? Unggahan disebut naik 300 %, namun Pemkot menegaskan tidak ada kenaikan PBB sama sekali pada 2025 (Instagram Pemkot Malang, 12 Agustus 2025).

Kesimpulannya: kita melihat rangkaian drama fiskal di mana narasi “kenaikan brutal PBB” menyebar cepat tanpa verifikasi, lalu dibantah dengan versi resmi yang kerap jauh lebih rendah. Belum termasuk Banyuwangi dan Malang—dua wilayah yang menjadi bahan gosip pajak tinggi tanpa bukti kuat, hanya klaim sosial media (Tempo, 12 Agustus 2025).

Sinisme akhirnya: pemerintah daerah dengan sigap menaikkan beban pajak secara selektif, lalu menutupi dengan istilah teknis seperti “penyesuaian ZNT”, “Perda lama”, “penilaian ulang NJOP”, atau bahkan menuding masyarakat menyebarkan hoaks. Helm “legitimasi fiskal” dipenuhi dengan skema zona, kajian normatif, bahkan diskon temporer di Cirebon semua agar rakyat patuh, tertunduk, dan bungkam.

Namun protes menunjukkan: rakyat malas dicekik tanpa suara. Mereka membayar dengan uang receh, protes keras, menuntut revisi Perda, demonstrasi massa. Apakah pemerintah daerah akan belajar? Atau terus bersembunyi di balik angka dan jargon hukum?

Selamat datang di era pajak narsistik di mana rakyat disiksa dengan statistik, lalu dibilang dramatis jika protes.

AMK WebDev

Bangun portal berita profesional & ringan.

💬 Konsultasi Globe News

Media Online Siap Pakai

Desain menarik, panel redaksi, dan dukungan SEO.

📞 Hubungi Kami News Globe