Jangan Hidup Dengan Kebencian

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

HIDUP terlalu singkat untuk dibakar oleh bara kebencian. Umur tak bertambah, ia justru terus menyusut. Lalu untuk apa hati dipenuhi dendam, padahal ajal kian mendekat? Allah tidak menilai siapa yang paling membenci, tapi siapa yang paling bertakwa. Maka sibukkanlah dirimu untuk menjadi lebih baik, bukan merasa paling baik.

Manusia sering kali terperangkap dalam siklus emosi yang sia-sia: marah yang berlarut, dendam yang tak padam, dan kebencian yang diwarisi dari luka-luka masa lalu. Padahal, waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli kembali. Setiap detik yang kita habiskan untuk membenci orang lain, adalah detik yang kita sia-siakan untuk memperbaiki diri sendiri.

Allah Ta’ala berfirman:

﴿كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ﴾
“Kullu nafsin dzaa-iqatul mawt.”
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185)

Kematian bukanlah soal ‘jika’, melainkan soal ‘kapan’. Ia bukan bayang-bayang yang menjauh saat dikejar. Justru, ia adalah tamu yang pasti datang meski tak pernah diundang. Maka pertanyaannya bukan apakah ajal itu dekat, tapi apakah kita sudah siap?

Membenci adalah pekerjaan hati yang melelahkan. Ia menguras energi tanpa menghasilkan kebaikan. Kebencian juga menumbuhkan prasangka, dan prasangka adalah dosa. Nabi ﷺ bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Iyyākum waẓ-ẓanna fa innaẓ-ẓanna akdzabu al-ḥadīts.”
“Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sebohong-bohongnya ucapan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika waktu yang tersisa dalam hidup ini hanya sedikit, maka alangkah sia-sianya menghabiskannya untuk menanam dan menyiram kebencian. Bukankah lebih baik menggunakannya untuk memanen ketenangan, menanam kasih sayang, dan memetik keberkahan?

Allah tidak akan bertanya kepada kita, “Siapa yang paling kau benci?” Tapi Dia akan bertanya:
مَا الَّذِي قَدَّمْتَ لِآخِرَتِكَ؟
“Apa yang telah engkau siapkan untuk akhiratmu?”

Maka mari kita mulai dari hal yang sederhana: memaafkan, mengikhlaskan, dan berhenti mengukur diri sendiri lebih baik dari orang lain. Karena merasa paling baik, itu bukan cermin kebaikan. Itu bisa jadi cermin kesombongan yang tersembunyi.

Rasulullah ﷺ mengingatkan:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِّنْ كِبْرٍ
“Lā yadkhulu al-jannata man kāna fī qalbihi mitsqālu dzarrah min kibr.”
“Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar zarrah kesombongan.” (HR. Muslim)

Kesombongan bukan hanya soal merendahkan orang lain, tapi juga merasa dirinyalah yang paling benar. Dalam hidup yang fana ini, kejaran kita bukan untuk menyaingi manusia lain, tetapi untuk meraih ridha Allah ﷻ.

Seperti sabda Rasulullah ﷺ:

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Khairun-nāsi anfa‘uhum lin-nās.”
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni)

Lihatlah, bahkan kebaikan pun bukan soal siapa yang paling benar shalatnya, paling panjang jenggotnya, atau paling fasih tilawahnya. Tapi sejauh mana kebaikan kita menyentuh hidup orang lain.

Seseorang tidak menjadi tinggi derajatnya karena menjelekkan orang lain. Ia akan tinggi karena rendah hatinya. Dan seseorang tidak menjadi lebih suci dengan menghitung-hitung dosa saudaranya. Ia menjadi mulia karena sibuk memperbaiki aibnya sendiri.

Imam Ibnul Qayyim berkata:

“Orang yang sibuk memperbaiki hatinya, tidak akan punya waktu untuk mencela orang lain.”

Lalu, bagaimana kita menyibukkan diri menjadi lebih baik? Dengan ilmu. Dengan amal. Dengan memperbaiki lisan. Dengan menahan amarah. Dengan menutup aib orang lain, bukan membukanya di publik. Bukan dengan memperlihatkan kebaikan untuk mencari pujian, tapi mengukirnya dalam kesunyian untuk mencari keridhaan.

Salah satu tanda keikhlasan adalah ketika kebaikan itu tetap dilakukan walau tak ada yang melihat. Karena yang melihat adalah Dia Yang Maha Melihat.

Allah ﷻ berfirman:

﴿إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ﴾
“Inna akramakum ‘indallāhi atqākum.”
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Bukan yang paling banyak follower-nya, bukan yang paling viral ceramahnya, bukan pula yang paling menggebu-gebu hujatannya di media sosial, tapi yang paling bertakwa. Dan takwa itu senyap. Takwa itu sunyi. Takwa itu letaknya di hati.

Rasulullah ﷺ bersabda sambil menunjuk dadanya:

التَّقْوَى هَاهُنَا
“At-taqwā hāhunā.”
“Takwa itu di sini.” (HR. Muslim)

Maka cukuplah kita menjadi orang yang sibuk memperbaiki diri, tanpa merasa paling benar. Karena siapa pun bisa tergelincir, siapa pun bisa menyesal, siapa pun bisa berubah. Dan siapa tahu, orang yang hari ini kita benci, justru lebih mulia dari kita di akhirat nanti.

Mari jaga hati dari kebencian. Jaga lisan dari merendahkan. Jaga langkah dari kesombongan. Karena hidup ini bukan untuk membuktikan siapa paling unggul, tapi siapa yang paling jujur kepada Allah.

Mari renungkan nasihat dari Hasan Al-Bashri rahimahullah:

“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari-hari. Setiap kali satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu pun ikut pergi.”

Waktu kita tidak banyak. Umur tidak bertambah. Dan ajal tidak pernah menunggu. Maka jangan sia-siakan sisa hidup untuk membenci. Isilah dengan cinta, maaf, dan upaya menjadi lebih baik bukan paling baik.

اللَّهُمَّ طَهِّرْ قُلُوبَنَا مِنَ الْحِقْدِ وَالْغِلِّ وَالْحَسَدِ، وَاجْعَلْنَا مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ya Allah, sucikanlah hati kami dari kebencian, dendam, dan iri hati, serta jadikanlah kami termasuk orang-orang yang bertakwa.”