Janji Mundur yang Terlupa Mendadak

Oleh: Dwi Taufan Hidayat

KETIKA ucapan dan keberanian tidak berjalan seiring, publik hanya bisa tertawa getir. Bahlil, Menteri Investasi, sempat berjanji akan mundur jika salah soal pemberian izin tambang. Namun, ketika terbukti salah, ia malah memilih minta maaf dan tetap bertahan. Satu-satunya yang mundur adalah akal sehat publik yang muak dengan sandiwara kekuasaan.

Dalam dunia politik, seringkali kita menyaksikan panggung drama yang melebihi kualitas sinetron prime time. Namun ada kalanya, plot-nya begitu absurd hingga logika masyarakat hanya bisa menggelengkan kepala sambil menyeka air mata antara tertawa dan marah, antara sinis dan muak. Salah satunya adalah episode ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadalia ditegur oleh anggota DPR terkait polemik pemberian izin tambang menjelang masa akhir pemerintahan.

Dengan gaya heroik yang tampaknya dilatih dari pidato-pidato revolusioner, Bahlil bersuara lantang: “Kalau saya salah, saya siap mundur!” Sebuah pernyataan yang, jika keluar dari mulut negarawan sejati, tentu menggugah kepercayaan rakyat. Tapi dalam kenyataannya, keberanian itu seperti gelembung sabun indah sesaat, lalu pecah ditelan angin klarifikasi.

Alih-alih mundur dengan kehormatan, Bahlil malah memilih strategi klasik: menyalahkan pihak lain. Dengan enteng, ia menyebut bahwa yang memberikan izin tambang bukan dirinya semata, tapi melibatkan “kader PDIP.” Sebuah manuver yang barangkali dimaksudkan untuk membagi beban atau sekadar melempar asap ke mata publik.

Namun, balasan dari DPR datang lebih cepat daripada proses evaluasi kementerian: “Yang memberi izin itu bukan kader PDIP.” Dan, sebagaimana dugaan banyak orang, keberanian Bahlil langsung runtuh. Bukan mundur yang terjadi, melainkan hanya permintaan maaf. Simpel. Ringan. Dan tentu saja, tidak menepati janji.

Apa yang bisa disimpulkan dari kisah singkat ini? Satu hal: integritas pejabat publik kembali dikorbankan demi kekuasaan yang masih nyaman untuk dipertahankan. Kita tidak melihat seorang pemimpin yang berani menanggung kesalahan, melainkan seorang birokrat yang lihai menghindar dari konsekuensi sambil membawa tameng bernama “klarifikasi.”

Dan jangan salah, ini bukan sekadar soal satu orang menteri. Ini cerminan dari budaya kekuasaan yang lebih luas. Di negeri ini, meminta maaf sudah menjadi mata uang moral yang murah. Pejabat bisa salah, asal minta maaf, maka segalanya dianggap lunas. Tidak perlu tanggung jawab, tidak perlu mundur, tidak perlu evaluasi diri. Cukup lempar nama, lalu undur perlahan dari sorotan media.

Kita jadi bertanya-tanya: apakah pernyataan “siap mundur” itu sungguhan atau hanya jargon untuk menutupi tekanan politik? Apakah nyali seorang menteri hanya muncul saat kamera menyala dan luntur saat realita memanggil? Ataukah ini strategi komunikasi krisis yang diajarkan dalam pelatihan kekuasaan: mengaku salah sebentar, lalu lanjut bekerja seperti tak terjadi apa-apa?

Lebih menyedihkan lagi, publik tampaknya sudah terlalu lelah untuk marah. Mereka hanya bisa menyaksikan lakon ini seperti menonton tayangan ulangan dari episode sebelumnya. Drama menteri yang tak jadi mundur, janji politik yang dilupakan, dan retorika kosong yang terus berdengung tanpa malu. Rakyat hanya dijadikan audiens dalam sandiwara yang tak pernah benar-benar usai.

Ironisnya, ini semua terjadi dalam era yang disebut-sebut sebagai “pemerintahan investasi.” Ketika tanah dan tambang dijual dengan dalih pembangunan, kita berharap ada ketegasan moral untuk mengelola kekayaan negara. Tapi jika yang mengurus adalah mereka yang tak sanggup menepati satu kalimat janji, bagaimana kita bisa percaya pada janji-janji pembangunan?

Jika ucapan “siap mundur” saja bisa dilanggar tanpa rasa bersalah, lalu di mana letak kehormatan jabatan? Apakah posisi menteri kini sebatas kursi empuk yang bisa dipertahankan dengan narasi licin? Dan jika menteri bisa menyalahkan partai tanpa bukti yang kuat, apakah ini tak ubahnya permainan saling lempar bola yang dimaafkan atas nama kekuasaan?

Sesungguhnya yang paling menyedihkan bukanlah menterinya, bukan pula klarifikasinya. Yang paling menyedihkan adalah betapa mudahnya publik dibohongi. Kita dibiarkan menonton pertunjukan di mana janji adalah lelucon, dan tanggung jawab adalah formalitas belaka. Yang mundur bukanlah Bahlil, tapi rasa percaya rakyat kepada pejabatnya.

Kini, publik tak lagi berharap pejabat bersikap kesatria. Harapan itu sudah lama dikubur bersama moralitas yang mati suri. Yang tersisa hanyalah sinisme. Ketika seseorang berkata “saya siap mundur,” rakyat akan tersenyum getir dan berkata dalam hati, “Nanti juga nggak jadi.”

Barangkali, dalam dunia politik kita, kejujuran adalah satu-satunya yang benar-benar sudah mengundurkan diri.